Hal yang penting untuk kita
ketahui, bahwa pemerintahan yang ideal untuk negara yang mayoritas penduduknya
Muslim adalah pemimpinnya dari orang Islam; mulai dari presiden, wakilnya,
mentri-mentri, anggota dewan, gubernur, wali kota, bupati, sampai kades. Kendati,
undang-undang negara tersebut tidak sepenuhnya menerapkan syariat.
Kenyataannya, di negara kita yang
notabene penduduknya muslim, tidak semuanya aparat pemerintah diangkat dari
orang Islam, padahal sudah jelas, di beberapa surah dalam al-Quran Allah I
telah melarang kita menguasakan segala urusan termasuk politik pada orang non
Muslim. Gampangnya, ada larangan tegas bagi orang Islam mengangkat pemimpin
dari kalangan non Islam.
Larangan tersebut bertebaran di
beberapa surah yakni an-Nisa’; 138-139 dan 144, Ali Imran; 28, al-Maidah; 51,
57, dan 80-81, al-Mumtahanah; 01, al-Maidah; 80-81, dan al-A’raf; 03. Semua
redaksi ayat tersebut menggunakan kata auliyâ’ yang merupakan bentuk plural
kata wali.
Untuk lebih mempertajam
penafsiran, maka perlu diasah lewat koreksi kata auliyâ’ pada ayat tersebut
berikut ulasan aspek historitasnya (asbâbun-nuzûl). Hal ini dianggap penting
karena sebagian kalangan menafsiri semua kata auliyâ’ dalam al-Quran sebagai
teman sejawat, bukan seorang pemimpin ataupun penolong.
Eksplorasi Makna Kata Auliyâ’
Menurut Ali ash-Shabuni dalam
Tafsîr Ayâtil-Ahkâm-nya, kata auliyâ’ yang merupakan bentuk jamak dari kata
wali bermakna penolong, sedangkan menurut Abul Qasim Husein bin Muhammad bin
Mufaddal yang masyhur dengan sebutan ar-Raghib al-Isfahani, kata walî atau
walâ’ dan tawâlî adalah menyatunya dua hal atau lebih, sehingga tidak ada
perkara lain di antara keduanya. Kata ini dijadikan isti’ârah untuk menunjukkan
adanya kedekatan dalam segi tempat, keturunan, agama, pertemanan, pertolongan,
dan keyakinan. (ar-Raghib al-Isfahani, Mufradâtu Alfâdzil-Qur’ân, II/535).
Perlu dipahami, kata wali yang
bermakna pelindung atau penolong ada para surah al-Baqarah; 257, al-A’raf; 196,
dan Ali Imran; 68, Muhammad; 11, al-Anfal; 40, al-Haj; 78, al-Jum’ah; 06,
at-Tahrim; 04, al-An’am; 62, dan ar-Ra’du; 11, sedangkan yang menggunakan arti
kepemimpinan atau kekuasaan adalah surah Ali Imran; 28, al-A’raf; 03,
al-Mumtahanah; 01, at-Taubah; 23, Al-An’am; 62, al-Anfal; 72, dan al-Maidah; 51
yang artinya:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka
adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah I tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim”. (QS. Al-Maidah [05]; 01). (ar-Raghib al-Isfahani, Mufradâtu
Alfâdzil-Qur’ân, II/536).
Historitas Ayat
Dari beberapa ayat auliyâ’ di
atas yang bermakna pemimpin, kita ambil ayat 51 surah al-Maidah dan ayat 28
surah Ali Imran untuk dikorek sisi sebab turunnya. Menurut penuturan mayoritas
ulama, kronologi turunnya ayat 51 ini berawal dari kasus Ubadah bin Shamit yang
enggan menguasakan urusan politik kepada kalangan Yahudi dan si munafik
Abdullah bin Ubay bin Salul yang mengadakan koalisi dengan Yahudi dengan dalih
takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, sembari mengatakan:”Aku adalah
laki-laki yang takut terjadi sesuatu yang membahayakan, aku tetap pada
penguasaan pelindungku (Yahudi)”. (Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jâmi’ul-Bayân fî
Ta’wîlil-Qur’ân, X/396).
Begitu juga, ayat 28 Ali Imran
diturunkan dalam kasus yang sama, demikian menurut penuturan al-Kalibi, seperti
yang dinukil oleh al-Wahidi. (al-Wahidi, Asbâbu Nuzûlil-Qur’ân, I/65). Kalangan
Yahudi yang dimaksud ayat tersebut adalah klan Quraidhah dan Nadlir sebagaimana
riwayat dari Ibnu Mardawaih dari Abdullah bin Abbas. (Jalaluddin as-Sayuthi,
ad-Durru al-Mantsûr, V/347).
Pendapat Ulama
Dalam kitab Marâh Labîd li Kasyfi
Ma’nal-Qur’ân al-Majîd, Syekh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi menyatakan,
bahwa ayat 51 al-Maidah itu mengandung larangan berpegang teguh terhadap
perlindungan orang-orang kafir dan ber-mu’âsyarah (bergaul) dengan mereka
layaknya pergaulan kekasih (al-Ahbâb). Begitu juga Wahbah az-Zuhaili dalam
at-Tafsir al-Washith-nya menyatakan bahwa dalam ayat itu ada larangan tegas
bagi orang-orang mukmin meminta pertolongan, perlindungan, dan berkoalisi
dengan orang-orang kafir; baik Yahudi maupun Kristen. Sebab, mereka adalah
penolong bagi kalangan mereka sendiri.
Dari sini sudah clear, bahwa
al-Quran dengan tegas melarang menjadikan orang-orang kafir sebagai kolega,
pelindung, bahkan pemimpin. Hal ini bisa dicermati dari tindakan Abdullah bin
Ubay yang mengadakan koalisi dengan orang Yahudi. Jelas, bahasa koalisi di situ
merupakan salah satu proyek politik yang juga identik dengan kepemimpinan.
Bahkan, Ali ash-Shabuni
mengatakan bahwa ayat 28 Ali Imran yang artinya: “Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah,
kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.
Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali (mu)” (QS. Ali Imran [03]; 28), merupakan pijakan ulama yang menyatakan
tidak bolehnya menguasakan segala urusan umat Islam termasuk politik kepada
orang-orang kafir, sebagaimana kita dilarang memuliakan mereka dalam sebuah
majlis. Hal senada juga diutarakan oleh Imam al-Jashshash. (Ali ash-Shabuni,
Tafsîr Ayâtil-Ahkâm, I/181).
Karenanya, dengan alasan apapun
kecuali kondisi darurat sebagaimana dijelaskan di artikel sebelumnya, kita
dilarang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin. Hal ini adalah harga mati
yang tidak bisa ditawar lagi, karena kejayaan Islam ada di tangan orang Islam
itu sendiri, bukan di genggaman orang-orang tidak beriman.[]
Penulis : Afifuddin
Post a Comment