NEWS

Thursday, September 22, 2016

HARAM MEMILIH AHOK

Hal yang penting untuk kita ketahui, bahwa pemerintahan yang ideal untuk negara yang mayoritas penduduknya Muslim adalah pemimpinnya dari orang Islam; mulai dari presiden, wakilnya, mentri-mentri, anggota dewan, gubernur, wali kota, bupati, sampai kades. Kendati, undang-undang negara tersebut tidak sepenuhnya menerapkan syariat.

Kenyataannya, di negara kita yang notabene penduduknya muslim, tidak semuanya aparat pemerintah diangkat dari orang Islam, padahal sudah jelas, di beberapa surah dalam al-Quran Allah I telah melarang kita menguasakan segala urusan termasuk politik pada orang non Muslim. Gampangnya, ada larangan tegas bagi orang Islam mengangkat pemimpin dari kalangan non Islam.

Larangan tersebut bertebaran di beberapa surah yakni an-Nisa’; 138-139 dan 144, Ali Imran; 28, al-Maidah; 51, 57, dan 80-81, al-Mumtahanah; 01, al-Maidah; 80-81, dan al-A’raf; 03. Semua redaksi ayat tersebut menggunakan kata auliyâ’ yang merupakan bentuk plural kata wali.

Untuk lebih mempertajam penafsiran, maka perlu diasah lewat koreksi kata auliyâ’ pada ayat tersebut berikut ulasan aspek historitasnya (asbâbun-nuzûl). Hal ini dianggap penting karena sebagian kalangan menafsiri semua kata auliyâ’ dalam al-Quran sebagai teman sejawat, bukan seorang pemimpin ataupun penolong.

Eksplorasi Makna Kata Auliyâ’

Menurut Ali ash-Shabuni dalam Tafsîr Ayâtil-Ahkâm-nya, kata auliyâ’ yang merupakan bentuk jamak dari kata wali bermakna penolong, sedangkan menurut Abul Qasim Husein bin Muhammad bin Mufaddal yang masyhur dengan sebutan ar-Raghib al-Isfahani, kata walî atau walâ’ dan tawâlî adalah menyatunya dua hal atau lebih, sehingga tidak ada perkara lain di antara keduanya. Kata ini dijadikan isti’ârah untuk menunjukkan adanya kedekatan dalam segi tempat, keturunan, agama, pertemanan, pertolongan, dan keyakinan. (ar-Raghib al-Isfahani, Mufradâtu Alfâdzil-Qur’ân, II/535).

Perlu dipahami, kata wali yang bermakna pelindung atau penolong ada para surah al-Baqarah; 257, al-A’raf; 196, dan Ali Imran; 68, Muhammad; 11, al-Anfal; 40, al-Haj; 78, al-Jum’ah; 06, at-Tahrim; 04, al-An’am; 62, dan ar-Ra’du; 11, sedangkan yang menggunakan arti kepemimpinan atau kekuasaan adalah surah Ali Imran; 28,  al-A’raf; 03, al-Mumtahanah; 01, at-Taubah; 23, Al-An’am; 62, al-Anfal; 72, dan al-Maidah; 51 yang artinya:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah I  tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Maidah [05]; 01). (ar-Raghib al-Isfahani, Mufradâtu Alfâdzil-Qur’ân, II/536).

Historitas Ayat

Dari beberapa ayat auliyâ’ di atas yang bermakna pemimpin, kita ambil ayat 51 surah al-Maidah dan ayat 28 surah Ali Imran untuk dikorek sisi sebab turunnya. Menurut penuturan mayoritas ulama, kronologi turunnya ayat 51 ini berawal dari kasus Ubadah bin Shamit yang enggan menguasakan urusan politik kepada kalangan Yahudi dan si munafik Abdullah bin Ubay bin Salul yang mengadakan koalisi dengan Yahudi dengan dalih takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, sembari mengatakan:”Aku adalah laki-laki yang takut terjadi sesuatu yang membahayakan, aku tetap pada penguasaan pelindungku (Yahudi)”. (Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jâmi’ul-Bayân fî Ta’wîlil-Qur’ân, X/396).

Begitu juga, ayat 28 Ali Imran diturunkan dalam kasus yang sama, demikian menurut penuturan al-Kalibi, seperti yang dinukil oleh al-Wahidi. (al-Wahidi, Asbâbu Nuzûlil-Qur’ân, I/65). Kalangan Yahudi yang dimaksud ayat tersebut adalah klan Quraidhah dan Nadlir sebagaimana riwayat dari Ibnu Mardawaih dari Abdullah bin Abbas. (Jalaluddin as-Sayuthi, ad-Durru al-Mantsûr, V/347).  

Pendapat Ulama

Dalam kitab Marâh Labîd li Kasyfi Ma’nal-Qur’ân al-Majîd, Syekh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi menyatakan, bahwa ayat 51 al-Maidah itu mengandung larangan berpegang teguh terhadap perlindungan orang-orang kafir dan ber-mu’âsyarah (bergaul) dengan mereka layaknya pergaulan kekasih (al-Ahbâb). Begitu juga Wahbah az-Zuhaili dalam at-Tafsir al-Washith-nya menyatakan bahwa dalam ayat itu ada larangan tegas bagi orang-orang mukmin meminta pertolongan, perlindungan, dan berkoalisi dengan orang-orang kafir; baik Yahudi maupun Kristen. Sebab, mereka adalah penolong bagi kalangan mereka sendiri.

Dari sini sudah clear, bahwa al-Quran dengan tegas melarang menjadikan orang-orang kafir sebagai kolega, pelindung, bahkan pemimpin. Hal ini bisa dicermati dari tindakan Abdullah bin Ubay yang mengadakan koalisi dengan orang Yahudi. Jelas, bahasa koalisi di situ merupakan salah satu proyek politik yang juga identik dengan kepemimpinan.

Bahkan, Ali ash-Shabuni mengatakan bahwa ayat 28 Ali Imran yang artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Ali Imran [03]; 28), merupakan pijakan ulama yang menyatakan tidak bolehnya menguasakan segala urusan umat Islam termasuk politik kepada orang-orang kafir, sebagaimana kita dilarang memuliakan mereka dalam sebuah majlis. Hal senada juga diutarakan oleh Imam al-Jashshash. (Ali ash-Shabuni, Tafsîr Ayâtil-Ahkâm, I/181).

Karenanya, dengan alasan apapun kecuali kondisi darurat sebagaimana dijelaskan di artikel sebelumnya, kita dilarang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin. Hal ini adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi, karena kejayaan Islam ada di tangan orang Islam itu sendiri, bukan di genggaman orang-orang tidak beriman.[]

Penulis : Afifuddin

Tentang ""

Rabithah al-Ma’ahid al-Islamiyyah (RMI) adalah lembaga Nahdlatul Ulama dengan basis utama pondok pesantren yang mencapai + 23.000 buah di seluruh Indonesia..

Post a Comment

 
Copyright © 2016 RMI NU Jakarta
a |